Jakarta [zonterkom] - Satuan Anti Anarki yang dibentuk oleh Polri untuk mengatasi kerusuhan massa patut diapresiasi. Satuan ini bisa menjadi produktif atau kontraproduktif tergantung beberapa hal.
"Pertama, kesan pembiaran oleh aparat kepolisian yang berkembang di mata publik atas sejumlah peristiwa kekerasan massa memerlukan pembuktian sebaliknya," ujar Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indoensia (PBHI), Angger Jati Wijaya dalam rilis yang diterima detikcom, Kamis (3/3/2011).
Angger mengatakan hal itu sekaligus menuntut perubahan sikap institusi kepolisian terhadap sekecil apa pun gejala yang berpotensi memicu meluasnya tindakan kekerasan massa. Kedua, deteksi dini yang melekat dengan aktivitas intelijen.
"Dengan tetap mengindahkan aspek perundang-undangan serta hak asasi manusia merupakan landasan untuk mengambil tindakan kepolisian dengan kriteria terukur dalam batas toleransi sesuai dengan prosedur," jelasnya.
Ketiga, lanjut Angger, diperlukan pemetaan yang relatif faktual dan sosiologis atas berbagai potensi anarki di tengah dinamika masyarakat yang majemuk, plural serta realitas kesenjangan yang mudah dimobilisasi.
"Keempat, kepolisian dituntut untuk segara menyusun dan merumuskan pendekatan baru berhadapan dengan pengelolaan potensi konflik di masyarakat," paparnya.
Kelima, diperlukan terbangunnya mekanisme pengawasan publik terhadap tindakan kepolisian yang bermuara pada pertanggungjawaban institusi. Tanpa hal-hal di atas maka pembentukan satuan anti anarki hanya akan memboroskan anggaran negara.
"Tetapi juga berpotensi berkembangnya komplikasi wewenang kelembagaan di internal kepolisian," tutupnya.(detikNews)
Artikel Terkait